Eps 1 (4/8/14): No Listrik No TV

Leave a Comment
Tiba 30 menit sebelum azan magrib mengudara diseantero desa, kami disambut hangat seluruh keluarga pak Geusyik dengan segelas sirup merah cap patung dan kue khas lebaran.
10 menit berlalu, pak sekdes Helmi bergabung menikmati suguhan.
Obrolan tentang tempat tinggal yang akan kami tempati mengalir begitu saja, tak lupa bahasan tentang kebutuhan makan selama satu bulan kedepan.
Hingga azan magrib benar-benar berkumandang, belum juga ada keputusan tentang kebutuhan perut saat lapar. Lima menit berlalu, kami para Linto Baro pun diantar kerumah yang menjadi tempat peraduan.
Dibawah cahaya bulan yang sama sekali tak terang, kulihat rumah itu tak menyentuh tanah. Semburat cahaya yang keluar melalui celah-celah susunan papan lantai rumahnya menyadarkan kami kalau kami baru saja menyentuh lantai bawah rumahnya. Bukan benar-benar lantai, tapi hanya lapisan semen yang dibuat sebagai pembeda antara tanah dengan area rumah.
Dua panteu saling berhadapan mengapit area sirkulasi yang kami lalui. Pak Helmi yang menjadi tutor guide terus menuntun kami menaiki sejumlah anak tangga, hingga terbukalah sebuah ruangan memanjang ukuran 3 x 9 meter.
“inoe keuh tempat wak droe tinggai, meunyoe na perlee peu-peu mantoeng hei nek atau akak mantoeng di rumoeh yub…” demikian ujar pak Helmi sebelum berpamitan izin menunaikan salat magrib, diikuti langkah nenek dan akak yang juga ikut menuruni anak tangga.
Segera kuletakkan dua tas yang sedari tadi bergelantungan dipunggungku, mencoba merebahkan diri.
“akhirnya…” desisku pelan.
“hana stop kontak wak, payah cas batre hape bak rumoeh aneuk inoeng nyoe”
Whatt…
Rumah ijo; ruang tidur/tempat tinggal Linto Baroe

Usai shalat magrb, aku dan Amirul bergegas menemui Dara Baro yang mungkin saja masih berada dirumah pak geusyik. Sementara Evendi masih khusyuk dihadapan Tuhannya meminta doa.
Dari kejauhan kulihat Dara Baro ditemani istri pak geusyik tampak baru hendak melangkah keluar yang kami tak tahu kemana.
Dua koper besar didorong meskipun yang didorong sama sekali tak bergerak. Kami datang tergopoh membantu. Amirul mengambil jatah koper yang lebih besar, ukurannya 2/3 dari koper yang kuangkat.
Dibawah cahaya kurang dari  2 watt, istri pak geusyik menuntun kami melewati jalan pintas yang melewati beberapa rumah warga beserta kebun belakang rumah mereka. Beberapa kali terantuk karena berjalan sembarangan, atau karena kami tak mengikuti komando dari bu geusyik saat diperintahkan membungkuk kepala melewati beberapa rintangan yang kami juga tak tahu apa ditengan gelap malam.
Hanya butuh 3 menit, kami sudah sampai kerumah berwarna putih dengan motif flora berwarna pink yang menutupi hamper setengah badan bangunan. Rumah ini sangat terang, cahaya lampu 35 watt menerangi dua pekarangan rumah sekaligus ditambah juga badan jalan yang menuntun kearah rumah ini berada.
Tak kalah terangnya, area dalam rumah ini pun diterang dua lampu dengan intensitas yang tak kalah kuat, warna dinding yang sama dengan bagian luar rumah memancarkan aura tenang keseluruh ruangan.
“rumoeh nyoe kosong, jadi wak droe silahkan pake seluruh ruangan, nyan pih na TV, pudep laju meunyoe keuneuk nonton…”
TV…
Fasilitas yang di rumah kost saja tak kutemui, disini, selama 30 hari menjadi abdi bagi masyarakat disini, Dara Baro difasilitasi TV yang tentu menjadi barang penghilang bosan atau pengantar tidur saat malam atau saat kelelahan.






Rumah pink: tempat tinggal dara baroe

Belakangan ku tahu, mereka juga tak menyalakan TV itu sepanjang malam karena kelelahan menempuh perjalanan 150 km lebih dari Banda Aceh.

Heh, No Listrik, No TV.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.