Tiba 30
menit sebelum azan magrib mengudara diseantero desa, kami disambut hangat
seluruh keluarga pak Geusyik dengan segelas sirup merah cap patung dan kue khas
lebaran.
10 menit
berlalu, pak sekdes Helmi bergabung menikmati suguhan.
Obrolan
tentang tempat tinggal yang akan kami tempati mengalir begitu saja, tak lupa
bahasan tentang kebutuhan makan selama satu bulan kedepan.
Hingga azan
magrib benar-benar berkumandang, belum juga ada keputusan tentang kebutuhan
perut saat lapar. Lima menit berlalu, kami para Linto Baro pun diantar kerumah
yang menjadi tempat peraduan.
Dibawah
cahaya bulan yang sama sekali tak terang, kulihat rumah itu tak menyentuh
tanah. Semburat cahaya yang keluar melalui celah-celah susunan papan lantai
rumahnya menyadarkan kami kalau kami baru saja menyentuh lantai bawah rumahnya.
Bukan benar-benar lantai, tapi hanya lapisan semen yang dibuat sebagai pembeda
antara tanah dengan area rumah.
Dua panteu saling berhadapan mengapit area
sirkulasi yang kami lalui. Pak Helmi yang menjadi tutor guide terus menuntun
kami menaiki sejumlah anak tangga, hingga terbukalah sebuah ruangan memanjang
ukuran 3 x 9 meter.
“inoe keuh
tempat wak droe tinggai, meunyoe na perlee peu-peu mantoeng hei nek atau akak
mantoeng di rumoeh yub…” demikian ujar pak Helmi sebelum berpamitan izin menunaikan
salat magrib, diikuti langkah nenek dan akak yang juga ikut menuruni anak
tangga.
Segera
kuletakkan dua tas yang sedari tadi bergelantungan dipunggungku, mencoba
merebahkan diri.
“akhirnya…”
desisku pelan.
“hana stop
kontak wak, payah cas batre hape bak rumoeh aneuk inoeng nyoe”
Whatt…
Rumah ijo; ruang tidur/tempat tinggal Linto Baroe
Usai shalat
magrb, aku dan Amirul bergegas menemui Dara Baro yang mungkin saja masih berada
dirumah pak geusyik. Sementara Evendi masih khusyuk dihadapan Tuhannya meminta
doa.
Dari
kejauhan kulihat Dara Baro ditemani istri pak geusyik tampak baru hendak
melangkah keluar yang kami tak tahu kemana.
Dua koper
besar didorong meskipun yang didorong sama sekali tak bergerak. Kami datang
tergopoh membantu. Amirul mengambil jatah koper yang lebih besar, ukurannya 2/3
dari koper yang kuangkat.
Dibawah
cahaya kurang dari 2 watt, istri pak
geusyik menuntun kami melewati jalan pintas yang melewati beberapa rumah warga
beserta kebun belakang rumah mereka. Beberapa kali terantuk karena berjalan
sembarangan, atau karena kami tak mengikuti komando dari bu geusyik saat
diperintahkan membungkuk kepala melewati beberapa rintangan yang kami juga tak
tahu apa ditengan gelap malam.
Hanya butuh
3 menit, kami sudah sampai kerumah berwarna putih dengan motif flora berwarna
pink yang menutupi hamper setengah badan bangunan. Rumah ini sangat terang,
cahaya lampu 35 watt menerangi dua pekarangan rumah sekaligus ditambah juga badan
jalan yang menuntun kearah rumah ini berada.
Tak kalah
terangnya, area dalam rumah ini pun diterang dua lampu dengan intensitas yang
tak kalah kuat, warna dinding yang sama dengan bagian luar rumah memancarkan
aura tenang keseluruh ruangan.
“rumoeh nyoe
kosong, jadi wak droe silahkan pake seluruh ruangan, nyan pih na TV, pudep laju
meunyoe keuneuk nonton…”
TV…
Fasilitas
yang di rumah kost saja tak kutemui, disini, selama 30 hari menjadi abdi bagi
masyarakat disini, Dara Baro difasilitasi TV yang tentu menjadi barang penghilang
bosan atau pengantar tidur saat malam atau saat kelelahan.
Belakangan ku tahu, mereka juga tak menyalakan TV itu sepanjang malam karena kelelahan menempuh perjalanan 150 km lebih dari Banda Aceh.
Heh, No
Listrik, No TV.
0 komentar:
Posting Komentar