Dari Pak Geusyik:”Siap isya kita ikut pertemuan sama
pemuda gampong…”
pesan itu
aku baca perlahan memastikan kebenarannya.
Mendadak semua
pikirku mulai merancang apa hendak dilakukan. Biar kami telah lama berharap
pertemuan ini dilakukan yang barang tentu telah banyak yang kami siapkan, tetap
saja pertemuan dengan aparat gampoeng secara resmi yang pertama kali kulakukan
sepanjang usiaku, apalagi disini aku jadi lakon utama.
Azan magrib setengah
jam lagi akan berkumandang, sementara aku baru saja mengkaji ulang apa saja
program yang akan kami jalankan. Waktu cepat berlalu, azan dan shalat magrib kutunaikan,
bukan semakin tenang, pikiran berlomba berfikir, lidah terus berlatih ucap
sementara deru jantung semakin kencang berdetak, aku tak seimbang.
Setiap butir
nasi yang kutelan seperti menyesakkan dada, ingin rasanya menghentikan waktu
dan pulang saja.
Berniat melewatkan
isya berjamaah agar kami dating tepat seperti yang dijanjikan dengan persiapan
matang dan penampilan menjanjikan, tapi memang Tuhan paling bijak, dua rakaat
usai sholat jamaah baru berjalan, tapi kami sudah sampai dipekarangannya. Tak enak
hati, kami Lintopun ikut sholat berjamaah dengan mereka. Sementara Darabaro
menunggu diluar karena tak ikut sholat berbarengan.
Isya berakhir,
wirid singkat dilaksanakan, beberapa baris doa kupanjatkan, namun hati belum
juga tentram.
Amirul dan
Evendi mengapitku berbisik pelan memintaku santai dan tenang sama sekali tak
membantu. Darabaro kini sudah bergabung dengan kami pasangannya, mereka duduk
dipojok bersisian.
Sementara warga
satu persatu berdatangan usai dua tiga kali pengumuman dipekikkan melalui
corong pengeras suara oleh Pak Geusyik. Dua
baris pemuda dan para orang tua duduk berhadapan, puntung rokok mulai
dinyalakan, asap dihembuskan mengepul diudara sejenak membentuk ragam dimensi
yang tak kumengerti.
Sementara ibu-ibu
desa dan gadis remaja ikut gembira hendak menyaksikan penampilan kami yang
ingin rasanya kubatalkan. Satu jepretan kamera mengarah kepada kami dari kamera
yang digenggam gadis remaja diantara ibu-ibu yang berbisik-bisik pelan.
“ibu-ibu
tengoeh wirid han jeut geujak” Seorang ibu seperti tak sadar bisikannya terlalu
kencang.
(ibu-ibu yang ikut acara perkenalan, perempuan keenam dari kiri yang memfoto kami, perempuan kedua dari kanan yang berbisik kencang)
Memang
jumlah mereka tak sebanyak para pria, wirid rutin disalah satu rumah tiap malam
jumat tak bisa dibatalkan, namun pertemuan ini terlanjur diumumkan.
Aku pasrah. Ketua
pemuda membuka acara dengan barisan doa disertai ucapan bahagia mewakili seluruh
aparat desa karena kembali disambangi mahasiswa setelah empat tahun terakhir
oleh mahasiswa IAIN Ar-Raniry yang kini telah berganti nama jadi UIN Ar-Raniry.
Tak jauh
berbeda, Pak geusyik pun berucap hal yang sama.
(menyimak pesan dan petuah pak geusyik)
“…, selanjut
jih mari geutanyoe deungoe perkenalan dari mahasiswa KKN Unsyiah” ujar ketua
pemuda mempersilahkan satu dari kami memperkenalkan teman yang lainnya.
Aku bangun,
semua mata tertuju padaku.
Kugeserkan
peci dikepala yang tak salah, beberapa helai rambut menyembul keluar dari
dalamnya yang coba kusembunyikan, tak kusadari bila hamper separuh darinya
telah menyentuh pundak. Lengan baju almamater kutarik hingga siku.
Microfon sudah ditangan, sementara aku
belum memutuskan akan berbicara dalam bahasa aceh atau bahasa Indonesia yang
menjadi perdebatan dibenakku sejak rencana perkenalan ini diputuskan waktunya.
Kulirik jam,
jarum panjang baru hendak menyentuh angka empat, sementara jarum pendek jauh
tertinggal diangka Sembilan.
Aku berdehem
sembari mendorong tombol kecil dibadan mic
hingga lampu merah menyala.
“Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh…”
Lima menit
lamanya aku berbicara sebelum akhirnya aku mempersilahkan salah satu dari Dara
baro berbicara lebih jauh.
“…, untuk
hal-hal yang menyangkoet dengan peu-peu mantoeng yang akan kamoe pubuet selama
disinoe, mari geutanyoe deungoe pemaparan dari ngoen kamoe Mutiara Rahmah,…”
Tiara melangkah
perlahan, langkahnya pelan namun kuat. Dorongan angin yang terhempas ketubuhku
buktikan ia sangat yakin dengan persiapannya.
(kiri ke kanan-Tuha Peut, Tgk Imum 1, Ketua Pemuda, Tiara (mhs KKN), Tgk Imum 2, Pak Geusyik, Wakil Ketua Pemuda, warga)
Diawali dengan
permohonan izin untuk berbicara dalam bahasa Indonesia, Tiara memperkenalkan
bidang ilmu yang kami geluti disertai program yang sesuai dengan bidang ilmu
yang dikuasai, berlanjut dengan program utama untuk membuat kembali papan
informasi gampong serta keinginan agar masyarakat gampoeng ikut berpartisipasi.
Lancar dan
kejelasan dari pemaparan Tiara meyakinkan Ketua Pemuda untuk mengakhiri
perkenalan malam itu.
Pemuda,
Ibu-ibu, remaja dan beberapa orang tua melangkah keluar musholla meninggalkan
sampah botol air mineral yang sebelumnya dibagikan diawal acara. kulihat istri
pak geusyik cekatan menggulung tikar diikuti suaminya yang mengutip satu
persatu sampah botol mineral dimasukkan kedalam kardus.
Aku yang
duduk bersisian dengan Tuha Peut canggung memulai bicara. Kuawali dengan
menyalami tangannya sembari menanyakan kabarnya.
Sesaat kemudian
aku telah larut dalam obrolan hangat terkait perkembangan gampoeng dan
keluarganya. Sesekali ku perhatikan teman lainnya sibuk menanyakan nama lorong
dan teknis merealisaikan program.
Setengah jam
berlalu, mereka pamit dengan pak geusyik dan sama sekai tak menggubrisku yang
melotot punggung mereka yang cepat berlalu menghilang digelap malam.
Aku tak bisa
memotong obrolan ini sama sekali, sesekali tuha peut sangat semangat berbicara
tak memberi celah untukku bertanya apalagi membantah. Aku mulai ketakutan
kehilangan bahan obrolan atau bahkan pertanyaan. Disisi lain, Ketua pemuda
pamit beranjak pulang, meniggalkan aku, tuha peut, pak geusyik dan seorang teungku
imum.
Sebelum tenggorokanku
benar-benar tercekat, akhirnya pak geusyik mengajak kami pulang pertanda
obrolan segera berakhir. Di pintu gerbang kami berpisah.
Tidak, aku
tidak benar-benar berpisah dengan orang yang sedari tadi terus berbicara segala
hal yang pernah dialaminya. Lorong rumahnya dengan lorong tempat rumah tempat
kami tinggal sama. Kembali aku tersenyum kecut menyimak tiap kata yang
dilontarkan.
Tak sampai
50 meter, lorong kecil arah menuju persitirahatanku telah tercapai, aku mencari
momen yang tepat memotong obrolannya hingga dapat berpamitan.
“…,teurimoeng
geunaseh pak, insya Allah laen watee kamoe singgah bak rumoeh bapak” ujarku
setalah ia sempat menunjukan lorong rumahnya yang berselang 3 rumah dengan
rumah kami.
Lepas dari
obrolan itu, aku berlarian kesenangan. Tak lagi kuhitung jumlah anak tangga
yang berhasil aku lewati untuk mencapai seramoe ateuh Rumah Aceh tempat kami
tinggal.
Ku peluk
erat bantal yang menunggu pelukan sembari mengetik beberapa kata di laptop yang
tak kumatikan.
sudah selesai, dan hasilnya meubak-bak...
duh, akhirnya...
#entahlah apa yang terjadi selanjutnya...