Eps 2 (5/8/14): Shopping & Makan

Tak ada aktifitas khusus, hanya membeli beberapa keperluan penunjang untuk dapat bertahan ditempat nun jauh dari kampong halaman.
Wayer, sikat, hanger, piring, gelas, camilan, dan gunting kuku. Sayang, benda terakhir tak dibelik karena terlupakan.
Hari itu hanya duduk bersila menyimak tiap cerita para orang tua tentang suasana desa dan seluruh aktifitasnya. Diakhir petang, usai magrib, kepala desa datang menyambangi rumah Dara menanyakan kabar dan perasaan seharian berada ditempat yang tak dikenali sebelumnya.
“…, jadi kiban mengenai khanduri wak droe neuh? Apakah rantangan, bloe mantoeng, atau kiban? Atau mungken…”
Kami saling berpandangan, sesekali berseru mengutarakan pendapatnya. Hingga diputuskan bahwa; makan beli saja agar sesuai selera, keinginan dan berlandaskan kebutuhan.

(duek-deuek ngoen ureung tuha gampoeng)

Eps 1 (4/8/14): No Listrik No TV

Tiba 30 menit sebelum azan magrib mengudara diseantero desa, kami disambut hangat seluruh keluarga pak Geusyik dengan segelas sirup merah cap patung dan kue khas lebaran.
10 menit berlalu, pak sekdes Helmi bergabung menikmati suguhan.
Obrolan tentang tempat tinggal yang akan kami tempati mengalir begitu saja, tak lupa bahasan tentang kebutuhan makan selama satu bulan kedepan.
Hingga azan magrib benar-benar berkumandang, belum juga ada keputusan tentang kebutuhan perut saat lapar. Lima menit berlalu, kami para Linto Baro pun diantar kerumah yang menjadi tempat peraduan.
Dibawah cahaya bulan yang sama sekali tak terang, kulihat rumah itu tak menyentuh tanah. Semburat cahaya yang keluar melalui celah-celah susunan papan lantai rumahnya menyadarkan kami kalau kami baru saja menyentuh lantai bawah rumahnya. Bukan benar-benar lantai, tapi hanya lapisan semen yang dibuat sebagai pembeda antara tanah dengan area rumah.
Dua panteu saling berhadapan mengapit area sirkulasi yang kami lalui. Pak Helmi yang menjadi tutor guide terus menuntun kami menaiki sejumlah anak tangga, hingga terbukalah sebuah ruangan memanjang ukuran 3 x 9 meter.
“inoe keuh tempat wak droe tinggai, meunyoe na perlee peu-peu mantoeng hei nek atau akak mantoeng di rumoeh yub…” demikian ujar pak Helmi sebelum berpamitan izin menunaikan salat magrib, diikuti langkah nenek dan akak yang juga ikut menuruni anak tangga.
Segera kuletakkan dua tas yang sedari tadi bergelantungan dipunggungku, mencoba merebahkan diri.
“akhirnya…” desisku pelan.
“hana stop kontak wak, payah cas batre hape bak rumoeh aneuk inoeng nyoe”
Whatt…
Rumah ijo; ruang tidur/tempat tinggal Linto Baroe

Usai shalat magrb, aku dan Amirul bergegas menemui Dara Baro yang mungkin saja masih berada dirumah pak geusyik. Sementara Evendi masih khusyuk dihadapan Tuhannya meminta doa.
Dari kejauhan kulihat Dara Baro ditemani istri pak geusyik tampak baru hendak melangkah keluar yang kami tak tahu kemana.
Dua koper besar didorong meskipun yang didorong sama sekali tak bergerak. Kami datang tergopoh membantu. Amirul mengambil jatah koper yang lebih besar, ukurannya 2/3 dari koper yang kuangkat.
Dibawah cahaya kurang dari  2 watt, istri pak geusyik menuntun kami melewati jalan pintas yang melewati beberapa rumah warga beserta kebun belakang rumah mereka. Beberapa kali terantuk karena berjalan sembarangan, atau karena kami tak mengikuti komando dari bu geusyik saat diperintahkan membungkuk kepala melewati beberapa rintangan yang kami juga tak tahu apa ditengan gelap malam.
Hanya butuh 3 menit, kami sudah sampai kerumah berwarna putih dengan motif flora berwarna pink yang menutupi hamper setengah badan bangunan. Rumah ini sangat terang, cahaya lampu 35 watt menerangi dua pekarangan rumah sekaligus ditambah juga badan jalan yang menuntun kearah rumah ini berada.
Tak kalah terangnya, area dalam rumah ini pun diterang dua lampu dengan intensitas yang tak kalah kuat, warna dinding yang sama dengan bagian luar rumah memancarkan aura tenang keseluruh ruangan.
“rumoeh nyoe kosong, jadi wak droe silahkan pake seluruh ruangan, nyan pih na TV, pudep laju meunyoe keuneuk nonton…”
TV…
Fasilitas yang di rumah kost saja tak kutemui, disini, selama 30 hari menjadi abdi bagi masyarakat disini, Dara Baro difasilitasi TV yang tentu menjadi barang penghilang bosan atau pengantar tidur saat malam atau saat kelelahan.






Rumah pink: tempat tinggal dara baroe

Belakangan ku tahu, mereka juga tak menyalakan TV itu sepanjang malam karena kelelahan menempuh perjalanan 150 km lebih dari Banda Aceh.

Heh, No Listrik, No TV.

Struktur Pemerintahan Gampong

Selamat datang kembali digampong Dayah Nyong, gmn?
Anda sudah sampai ke Dayah Nyong, tapi ga tau mau kemana?
Siapa yang harus anda temui, hahahaa,,,
Nih, Struktur pemerintahan gampongnya, biar nanti kalau-kalau anda ketemu pangeran atau bidadari dari Dayah Nyong tahu harus menghadap kemana...



Desa 14x Luas Mesjid Raya Baiturrahman


Pernah dengan Nyong? Njong? Jong?
Heh, ya itulah sebuah desa
 yang berada di kemukiman Nyong diantara 8 desa lainnya yaitu Mns Daboih, Mns Pulo Rheng, Mns Gampong, Mns Dayah Nyong, Mns Brandeh, Mns Cut Nyong, Mns Baroeh, dan Mns Pulo Puep. Gampong ini bernama lengkap Mns. Dayah Nyong yang termasuk kedalam kecamatan Bandar Baru, yaitu kecamatan pertama yang berbatasan langsung antar kabupaten Pidie dan Pidie Jaya.

Desa cukup luas, 42 Hektar, luas gak tuh? bayangin aja 14 kali luas area mesjid raya Baiturrahman Banda Aceh... (brarti luas area mesjid raya berapa ya??)
Nah, biar tau dimana lokasi desa Dayah Nyong, nih lokasi jelasnya!
(Dayah Nyong terletak di notasi AH25)

(koordinat: 5'16'12.64" N dan 96'03'22.63" E)
(lokasi Dayah Nyong terhadap Kecamatan Bandar Baru)
(Lokasi penting digampong Dayah Nyong)

Nah, sekarang udah tau kan dimana Dayah Nyong, ayo sekali-kali mampir kesini, banyak kembang desa yang siap dipetik loh!!


Tak Kenal maka Tak Sayang, Tak Sayang maka Tak Cinta

Dari Pak Geusyik:”Siap isya kita ikut pertemuan sama pemuda gampong…”
pesan itu aku baca perlahan memastikan kebenarannya.
Mendadak semua pikirku mulai merancang apa hendak dilakukan. Biar kami telah lama berharap pertemuan ini dilakukan yang barang tentu telah banyak yang kami siapkan, tetap saja pertemuan dengan aparat gampoeng secara resmi yang pertama kali kulakukan sepanjang usiaku, apalagi disini aku jadi lakon utama.
Azan magrib setengah jam lagi akan berkumandang, sementara aku baru saja mengkaji ulang apa saja program yang akan kami jalankan. Waktu cepat berlalu, azan dan shalat magrib kutunaikan, bukan semakin tenang, pikiran berlomba berfikir, lidah terus berlatih ucap sementara deru jantung semakin kencang berdetak, aku tak seimbang.
Setiap butir nasi yang kutelan seperti menyesakkan dada, ingin rasanya menghentikan waktu dan pulang saja.
Berniat melewatkan isya berjamaah agar kami dating tepat seperti yang dijanjikan dengan persiapan matang dan penampilan menjanjikan, tapi memang Tuhan paling bijak, dua rakaat usai sholat jamaah baru berjalan, tapi kami sudah sampai dipekarangannya. Tak enak hati, kami Lintopun ikut sholat berjamaah dengan mereka. Sementara Darabaro menunggu diluar karena tak ikut sholat berbarengan.
Isya berakhir, wirid singkat dilaksanakan, beberapa baris doa kupanjatkan, namun hati belum juga tentram.
Amirul dan Evendi mengapitku berbisik pelan memintaku santai dan tenang sama sekali tak membantu. Darabaro kini sudah bergabung dengan kami pasangannya, mereka duduk dipojok bersisian.
Sementara warga satu persatu berdatangan usai dua tiga kali pengumuman dipekikkan melalui corong pengeras suara oleh Pak Geusyik.  Dua baris pemuda dan para orang tua duduk berhadapan, puntung rokok mulai dinyalakan, asap dihembuskan mengepul diudara sejenak membentuk ragam dimensi yang tak kumengerti.
Sementara ibu-ibu desa dan gadis remaja ikut gembira hendak menyaksikan penampilan kami yang ingin rasanya kubatalkan. Satu jepretan kamera mengarah kepada kami dari kamera yang digenggam gadis remaja diantara ibu-ibu yang berbisik-bisik pelan.
“ibu-ibu tengoeh wirid han jeut geujak” Seorang ibu seperti tak sadar bisikannya terlalu kencang.

(ibu-ibu yang ikut acara perkenalan, perempuan keenam dari kiri yang memfoto kami, perempuan kedua dari kanan yang berbisik kencang)

Memang jumlah mereka tak sebanyak para pria, wirid rutin disalah satu rumah tiap malam jumat tak bisa dibatalkan, namun pertemuan ini terlanjur diumumkan.
Aku pasrah. Ketua pemuda membuka acara dengan barisan doa disertai ucapan bahagia mewakili seluruh aparat desa karena kembali disambangi mahasiswa setelah empat tahun terakhir oleh mahasiswa IAIN Ar-Raniry yang kini telah berganti nama jadi UIN Ar-Raniry.
Tak jauh berbeda, Pak geusyik pun berucap hal yang sama.

(menyimak pesan dan petuah pak geusyik)

“…, selanjut jih mari geutanyoe deungoe perkenalan dari mahasiswa KKN Unsyiah” ujar ketua pemuda mempersilahkan satu dari kami memperkenalkan teman yang lainnya.
Aku bangun, semua mata tertuju padaku.
Kugeserkan peci dikepala yang tak salah, beberapa helai rambut menyembul keluar dari dalamnya yang coba kusembunyikan, tak kusadari bila hamper separuh darinya telah menyentuh pundak. Lengan baju almamater kutarik hingga siku.
Microfon sudah ditangan, sementara aku belum memutuskan akan berbicara dalam bahasa aceh atau bahasa Indonesia yang menjadi perdebatan dibenakku sejak rencana perkenalan ini diputuskan waktunya.
Kulirik jam, jarum panjang baru hendak menyentuh angka empat, sementara jarum pendek jauh tertinggal diangka Sembilan.
Aku berdehem sembari mendorong tombol kecil dibadan mic hingga lampu merah menyala.
“Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh…”
Lima menit lamanya aku berbicara sebelum akhirnya aku mempersilahkan salah satu dari Dara baro berbicara lebih jauh.
“…, untuk hal-hal yang menyangkoet dengan peu-peu mantoeng yang akan kamoe pubuet selama disinoe, mari geutanyoe deungoe pemaparan dari ngoen kamoe Mutiara Rahmah,…”
Tiara melangkah perlahan, langkahnya pelan namun kuat. Dorongan angin yang terhempas ketubuhku buktikan ia sangat yakin dengan persiapannya.
(kiri ke kanan-Tuha Peut, Tgk Imum 1, Ketua Pemuda, Tiara (mhs KKN), Tgk Imum 2, Pak Geusyik, Wakil Ketua Pemuda, warga)

Diawali dengan permohonan izin untuk berbicara dalam bahasa Indonesia, Tiara memperkenalkan bidang ilmu yang kami geluti disertai program yang sesuai dengan bidang ilmu yang dikuasai, berlanjut dengan program utama untuk membuat kembali papan informasi gampong serta keinginan agar masyarakat gampoeng ikut berpartisipasi.
Lancar dan kejelasan dari pemaparan Tiara meyakinkan Ketua Pemuda untuk mengakhiri perkenalan malam itu.
Pemuda, Ibu-ibu, remaja dan beberapa orang tua melangkah keluar musholla meninggalkan sampah botol air mineral yang sebelumnya dibagikan diawal acara. kulihat istri pak geusyik cekatan menggulung tikar diikuti suaminya yang mengutip satu persatu sampah botol mineral dimasukkan kedalam kardus.
Aku yang duduk bersisian dengan Tuha Peut canggung memulai bicara. Kuawali dengan menyalami tangannya sembari menanyakan kabarnya.
Sesaat kemudian aku telah larut dalam obrolan hangat terkait perkembangan gampoeng dan keluarganya. Sesekali ku perhatikan teman lainnya sibuk menanyakan nama lorong dan teknis merealisaikan program.
Setengah jam berlalu, mereka pamit dengan pak geusyik dan sama sekai tak menggubrisku yang melotot punggung mereka yang cepat berlalu menghilang digelap malam.
Aku tak bisa memotong obrolan ini sama sekali, sesekali tuha peut sangat semangat berbicara tak memberi celah untukku bertanya apalagi membantah. Aku mulai ketakutan kehilangan bahan obrolan atau bahkan pertanyaan. Disisi lain, Ketua pemuda pamit beranjak pulang, meniggalkan aku, tuha peut, pak geusyik dan seorang teungku imum.
Sebelum tenggorokanku benar-benar tercekat, akhirnya pak geusyik mengajak kami pulang pertanda obrolan segera berakhir. Di pintu gerbang kami berpisah.
Tidak, aku tidak benar-benar berpisah dengan orang yang sedari tadi terus berbicara segala hal yang pernah dialaminya. Lorong rumahnya dengan lorong tempat rumah tempat kami tinggal sama. Kembali aku tersenyum kecut menyimak tiap kata yang dilontarkan.
Tak sampai 50 meter, lorong kecil arah menuju persitirahatanku telah tercapai, aku mencari momen yang tepat memotong obrolannya hingga dapat berpamitan.
“…,teurimoeng geunaseh pak, insya Allah laen watee kamoe singgah bak rumoeh bapak” ujarku setalah ia sempat menunjukan lorong rumahnya yang berselang 3 rumah dengan rumah kami.
Lepas dari obrolan itu, aku berlarian kesenangan. Tak lagi kuhitung jumlah anak tangga yang berhasil aku lewati untuk mencapai seramoe ateuh Rumah Aceh tempat kami tinggal.
Ku peluk erat bantal yang menunggu pelukan sembari mengetik beberapa kata di laptop yang tak kumatikan.

sudah selesai, dan hasilnya meubak-bak...
duh, akhirnya...
#entahlah
 apa yang terjadi selanjutnya...

Panggil Kami Dara Baro & Linto Baro


Kami berpasangan, tiga pasang tepatnya. Tapi sesungguhnya itu hanya jumlahnya saja bukan beneran. Biar demikian kami sepakat menamakan diri ‘Dara Baro’ untuk para gadis dan ‘Linto Baro’ bagi laki-laki. Inipun disepakati oleh tetangga kami, kak Mah dan neneknya.
Panggilan ini berasal bukan saja karena jumlah kami yang berpasangan, tapi polah tingkah antar kamipun selayaknya demikian. Dara Baro mengelola uang untuk dibelanjakan keperluan sehari-hari oleh pasangannya, selanjutnya Dara Baro menyiapkan untuk disantap bersama-sama. Dilain hal, Linto Baro menjadi tameng dan tempat dengar keluh kesah bila separuh jiwanya merasa tak aman dan butuh bantuan. Itulah lakon yang akan kami mainkan hingga nanti habis masa pengabdian sebulan kedepan.
Waktu yang lama untuk hidup berdampingan saling membantu dan membutuhkan. Karena itu pula kami berusaha mengenal satu sama lain agar nanti mudah memahami maksud dan keinginan antar sesame.
“Teuku Taufiqqurrahman, owh rupa jih ‘Ampoen’ si Taufiq nyoe”, itulah celoteh Pak Abdus Samad pak geusyik gampong Dayah Nyong usai membaca ringkas biodata yang kami serahkan. Diberi mandate sebagai ketua biarpun usia paling muda, terlahir di Keumala, Pidie, selepas SD sangat jarang pulang ke kampong halaman dan betah di kota Banda hingga sekarang berkuliah di Fakultas Teknik Arsitektur sejak tahun 2011 silam.
Mamak Ellyzar Sahnun. Mamak ini belum bersuami apalagi beranak, ia bertingkah layaknya mamak, demikian cerita Mutiara Rahmah yang sering merepotkan ‘sang mamak’. Layaknya mamak-mamak pada umumnya, pagi-pagi sekali ia bangun menggaduhkan seluruh isi ruangan, membangunkan matahari tuk segera terangi bumi, membereskan setiap benda yang tak lagi pada posisinya.
“bangun, bangun, nyuci yok!”
“ELLYYY, yang betol aja qe jam segini nyuci?” teriak Tiara diamini oleh Novianti temannya yang juga tak jauh berbeda merepotkan mamak setelah membanting lembut gadjetnya usai tahu jam baru beranjak dari pukul 06.00. lalu mereka kembali menelungkupkan wajahnya dibalik bantal, tidur.
Tapi mama Elly luar biasa, ia tak mengeluh ketika sering diminta tolong menimba air oleh anak angkatnya, di teriakin ketika mereka minta ditemani kekamar mandi, banyak pula teriak-teriak lainnya berbalas dengan anggukan langkah gontai Elly menuruti kemauannya.
Mereka sangat dekat biarpun hanya punya dua hari selama pembekalan di gedung AAC Dayan Dawood tuk tahu sesama dua bulan sebelumnya. Mutiara Rahmah, mahasiswa semester 7 di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, memilih ilmu politik sebagai bidangnya. Sementara Novianti, mahasiswa ditingkat yang sama yang sebelumnya menjadi anggota kelompok di gampong Rheng Bandara Baru sebelum mengalami pergantian dengan Silvia usai olah data oleh Bapel KKN Unsyiah. Dara baro yang terakhir adalah Ellyzar Sahnun dari desa Trubue, Seulimum, berkuliah di FKIP PAUD. Mungkin karena bidang ilmu yang dipilihnya yang membentuk nalurinya layaknya mamak-mamak.
(Keliling gampong untuk silaturrahim, dari kiri kekanan; Mutiara Rahmah, Novianti, Ellyzar Sahnun, Teuku Taufiqqurrahman, Evendi - picture taken by Amirul Mukminin)

(Amirul mukminin) 
“Cukoep bereh si Amirul”, begitulah ujar Evendi setiap kali memergoki Amirul Mukminin cukup pandai bersilat lidah, larut dalam obrolan yang tak direncanakan dengan setiap orang baru yang ditemuinya. Lima menit setelah obrolan dimulai, nomer HP lawan bicaranya sudah bisa didapatkan untuk jadi log kontak di handphone miliknya.
Belakangan Evendi dan Taufiq sepakat mejadikan Amirul sebagai orang yang mengurusi bagian Human (hubungan masyarakat).
Amirul adalah lulusan dari yayasan YPPU Sigli sejak 2011 silam, istiqamah berkuliah di fakultas Teknik Industri, meskipun saat itu jurusan ini baru dibentuk. Sementara Evendi mahasiswa tingkat akhir yang konsen dengan bidang budidaya perairan di fakultas Kelautan & Perikanan.
Tiga pasangan ini menyatakan siap melalui setiap badai rumah tangga yang kelak akan mereka jalani selama sebulan kedepan sebagai Dara Baro dan Linto Baro.
Linto Baro; panggilan orang aceh untuk pengantin baru dari pihak laki-laki, sementara Dara Baro bagi perempuan.

Undangan Makan di 'Rumah Tetangga'

Seperti biasa, kami memulai agenda hari itu (7/8) dengan sarapan bersama, nasi guri lauk daging ditemani dengan teh panas buatan ‘darabaro’ jadi pengganjal perut pagi itu. 
Sembari menikmati suguhan acara dari salah satu tv swasta juga membolak balikkan koran lokal sebagai modus update  informasi, kami menerima telepon dari wakil pemuda untuk ikut meramaikan acara ‘meukaoy’ dari desa tetangga (gampong rheng).
Aha, makan siang gratis sorak kami gembira (boys only).
Perjalanan kedesa tetangga hanya memakan waktu 5 menit saja dengan modal tempuh kendaraan roda 2.  
Disana kami bertemu dengan team KKN dari desa setempat yang juga meramaikan acara tersebut. Suasana cukup ramai, anak-anak berlarian mengelilingi menasah tempat hajatan digelar, ibu-ibu sibuk membersihkan wajan serta piring sebagai tempat makan, pemuda dan laki-laki dewasa larut dalam goyangan sendok besar dalam kuali berisi kuah kambing sembari icip-icip rasa. Sementara disudut lainnya, pemuda menunggu beras menjadi nasi mengamati kalau-kalau kayu bakarnya habis dilalap api.
Sementara kami menyibukkan diri dalam omongan basa-basi perkenalan hingga kami tau darimana asal, kesibukan, program kerja, rencana kedepan, tempat tinggal, hingga merembes pada gossip dan pembicaraan pengakraban.
Hingga ingatlah nama mereka yaitu Husnul dari Indrapuri sebagai ketua team, Fauzi dari Kuala Simpang dan Dian dari Banda Aceh namun lama di Jawa. Sementara perempuan-perempuan pendamping mereka kami tidak tau siapa, tak pula diperkenal juga menampakkan dirinya.
Santap siang itu digelar diluar area musholla, berdekatan dengan rumah warga, salah satunya rumah kakek tua berusia lanjut yang ternyata adalah hasil kerja KKN 3 tahun lalu oleh mahasiswa Akper Fakinah Banda Aceh. kabarnya juga, mereka sampai membawa kakek penerima rumah bantuan kerumah sakit RSUDZA untuk operasi. itulah kabar baik yang diceritakan warga dari ingatan-ingatan kuat mereka terhadap program kerja mahasiswa-mahasiwa KKN sebelumnya. *setiap amal baik akan selalu dikenang, begitu pula polah tingkah buruk yang takkan lekang dari ingatan.
Usai menikmati santapan 'sie kameng' ditemani oleh obrolan pendek dengan orang yang kami tak tahu siapa, kami kembali kedalam musholla menghisap si kretek rokok dan terlibat obrolan jenaka. tak lama sosok yang kami tak tahu siapa hadir menyapa, aku tertarik mundur beberapa centi darinya. ia memperkenalkan diri sebagai Bpk Taleb Thaeb, pegawai di kantor kecamatan Bandar baru. *owhhh...
cukup lama terlibat obrolan tajam dengannya, sambil sesekali tertawa terkekeh menyadari anak dan cucunya ternyata kami kenali sedang di Banda mengadu nasib sebagai penjual jasa fotocopi. ia tak henti-hentinya bercerita, dari mulai abdi kerjanya yang sudah 25 tahun di kantor kecamatan dengan gaji seadanya, keluarga, hingga cerita gampong Rheng sejak dahulu kala. Obrolan terhenti sejenak ketika wakil ketua pemuda gampong dayah Nyong bergabung ikut serta, berlanjut beberapa saat hingga kami kemudian berpamitan dengan dalih zuhur telah menanti tuk ditunaikan.
Adapun acara ‘kaoy’ ini dilaksanakan dengan menyembelih 1 ekor kambing dengan undangan yang cukup banyak, mungkin sampai 50-an warga. Biar dagingnya kecil tapi yang penting kebersamaannya, setuju!!

*kaoy = nazar ; dalam perbendaharaan kata Islam dan Kristen adalah janji seseorang kepada Allah untuk melakukan sesuatu hal, jika apa yang ia harapkan terpenuhi atau terkabulkan. (wikipedia)
Diberdayakan oleh Blogger.